Rabu, 21 September 2011

KONSEP DAN REALITAS


Kata dan konsep yang berkait dengan fisik atau pengalaman mental, tumbuh dan berkembang atau memburuk bersamaan dengan pengalaman siapa yang kita acu. Konsep bisa berubah tatkala profil acuan kita berubah; begitu pula sebaliknya.
Ada ketetapan dan perubahan secara sekaligus pada semua makhluk hidup; begitu pula, ada ketetapan dan perubahan dalam semua konsep yang merefleksikan pengalaman kehidupan manusia. Bagaimanapun, konsep itu memiliki nalar hidup yang otonom, dan mereka tumbuh, dan hanya bisa dipahami bila konsep tersebut tidak dipisahkandari pengalaman yang memberi mereka arti. Jika konsep menjadi asing yakni, terpisah dari pengalaman yang diacunya, konsep akan kehilangan kenyataan dan berubahmenjadi serpihan material pikiran manusia. Fiksi, oleh karena itu, diciptakan manusia dengan menggunakan konsep yang mengacu pada pengalaman dasariah manusia. Sekali ini terjadi dan proses pengasingan konsep adalah kewajaran dan bukan pengecualian, ide yang mengungkapkan pengalaman telah berubah menjadi ideologi yang telah merebut tempat realitas yang mendasarinyadalam kehidupan manusia. Sejarah menjadi sejarah ideologi, bukan lagi menjadi sejarah konkrit manusia sebagai produsen gagasan.
Pada dasarnya, ekspresi konseptual pengalaman manusia memiliki kecenderungan untuk berubah menjadi ideologi dengan alasan, bukan hanya ketakutan manusia untuk mengaitkan dirinya secara penuh pada pengalaman, tetapi karena perubahan itu memang alami dalam hubungan antara pengalaman dan ide (konseptualisasi). Sebuah konsep tidak pernah cukup mengungkapkan pengalaman yang diacunya. Konsep menunjuk padanya, tetapi bukan pengalaman itu sendiri. Konsep atau sombol adalah ekspresi yang mendekti pengalaman. Konsep dan simbol mempunyai tabungan nilai yang besar yang menyebabkan manusia bisa mengkomunikasikansemua pengalaman mereka.
Faktor lain yang memberi kontribusi pada pengembangan keterasingan dan ideologisasi. Akan terlihat kecenderungan yang berpautan dalam pemikiran manusia untuk berkerja keras demi sistematisasi dan kelengkapan. Salah satu akar kecenderungan ini mungkin berada dalam pencarian manusia akan suatu kepastian. Ketika kita tahu beberapa potong rekaman realitas, kita selalu berpacu untuk melengkapi serpihan potongan realitas tersebut agar bisa dipahami secara sistematis. Dengan keterbatasan alami manusia itu, mestinya kita sadar bahwa ilmu pengetahuan bukan segala-galanya; ia hanya serpihan-serpihan kecil dan memang ilmu pengetahuan tidak pernah lengkap. Yang bisa kita lakukan adalah merangkaiserpihan yang terserak tadi sebagai tambahan untuk membuat mereka menjadi satu kesatuan, sebagai sebuah sistem.
Dalam banyak sistem sains, kita temukan campuran dari penalaran murni kedalam realitas, dengan serpihan fiktif ditambahkan untuk membuat keseluruhannya menjadi sistematis. Hanya dalam perkembangan selanjutnya saja kita mengenal dengan jelas bagian yang benar dengan cara membubuhi pengetahuan dan ‘pengisi’ yang lama sehingga menjadikannya masuk akal. Proses yang sama terjadi pada ideologi politik. Pada saat revolusi Perancis, kaum kaya Perancis bertempur untuk kebebasannya sendiri, adalah merupakan ilusi bahwa itu adalah pertempuran untuk kebebasan universal dan kebahagiaan sebagai prinsip mutlak, dan selanjutnya berlaku untuk semua manusia.
Setiap perkembangan sains, dalam ide politik, dalam agama dan dalam filsafat cenderung untuk membuat ideologi yang bersaing dan saling bertarung. Proses ini dipengaruhi fakta bahwa segera setelah sistem berpikir menjadi inti organisasi, birokrasi akan muncul, dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan kontrol, lebih memelihara perbedaan ketimbang mengayuh kebersamaan, dan kemudian lebih tertarik lalu menganggapnya penting dan pokok, atau bahkan lebih dari itu untuk membuat bidah-bidah fiktif ketimbang realitas yang sesungguhnya. Maka filsafat, agama, ide politik dan kerap sains, berubah menjadi ideologi, dikontrol oleh mesin-mesin birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar